Assalamualaikum WR WB
Baik Al-Quran Al-Karim atau Hadits Nabawi As-Syarif sama-sama tidak
menyebutkan hukum onani secara sharih. Yang ada adalah kesimpulan yang
diambil oleh para ulama sebagai bentuk apa yang mereka pahami dari semua
nash itu. Sehingga wajar bila tidak semua ulama sepakat
mengharamkannya. Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa
arabnya disebut istimna` banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar
ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya. 1. Yang
mengharamkan
Umumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang
kepada firman Allah SWT meski tidak secara ekplisit disebutkan : \"Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau
hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi
barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah
orang-orang yang melewati batas.\" (Al-Mu\'minun: 5-7). Mereka
memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab
Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan
anjuran untuk menikah : Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada
kami,\"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yang telah
memiliki ba'ah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga
pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena
puasa itu sebagai pelindung. (HR Muttafaqun `alaih). Di dalam
keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa
dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan
alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan
keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi
Beliau malah menyuruh untuk puasa. Sedangkan Imam Asy-Syafi`i
mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman
199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun
...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Begitu juga dalam kitab
beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani. Imam Ibnu
Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa
onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir,
tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani
dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabi'in karena hal-hal darurrat
seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit
tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak
melihat adanya keringanan untuk memboleh onani. 2. Yang membolehkan
Diantara para ulama yang membolehkan istimna`
Antara lain Ibnu Abbas,
Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan
onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita
meskipun budak. Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,\"Wahai
Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku
mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani\". Ibnu Abbas berkata,\"Itu
lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla
juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa
istimna` (onani) adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang
kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya
secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah : \"Dan telah
Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan\" Sedangkan onani bukan termasuk
hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat
mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun
Sunnah. Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan
sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera
dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi
juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits
tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar
diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah.
Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah
barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong
daging lebih. Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab
Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya.
Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252
disebutkan bahwa onani itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga
memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat
Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu
memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang
pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari
negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia
kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara
ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya
dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi
yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh
Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya
dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah,
mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan
terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang
mu\'min. Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan
bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih
jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai
bidang ini. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaykum Warahmatullahi Wa Barakatuh
No comments:
Post a Comment