KEISTIMEWAAN MENINGGAL PADA HARI RABU ATAU HARI
JUM’AT
Pertanyaan Dari:
Muhni Abdullah <muhni.abdullah@gmail.com>
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16
Juli 2010)
Pertanyaan:
Kami mohon penjelasan dan jawaban atas pertanyaan
berikut :
1. Apa
keistimewaan bagi orang yang wafat pada hari Rabu atau hari Jum'at?
2. Apa
dan bagaimana dasarnya (hadisnya) ?
Demikian pertanyaan kami, atas perhatian dan
jawabannya kami menghaturkan terimakasih.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan.
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan terlebih dahulu
hal-hal berikut. Permasalahan keutamaan meninggal di hari Jum’at, seperti yang
saudara ajukan, adalah termasuk permasalahan ghaib yang oleh agama Islam hanya
dibolehkan percaya pada argumentasi yang bersandarkan pada dalil-dalil
sam’iy-naqliy (yang datang dari al-Qur’an dan as-Sunnah). Dalam hal yang
termasuk perkara ghaib, kita tidak diperkenankan untuk membuat cerita atau
meyakini sesuatu kecuali berdasarkan keterangan langsung dari nash al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Tidak ada ruang bagi kita untuk melakukan analogi dan
menggunakan akal untuk mengetahui permasalahan-permasalahan ghaib. Allah SWT
telah berfirman:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا
أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا
يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
[الأنعام، 6: 50]
Artinya: “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu,
bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang
gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku
tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: Apakah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)?” [QS. al-An’am (6): 50]
Nabi Muhammad saw juga telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan
(agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka ia tertolak.” [HR.
al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ [رواه مسلم]
Artinya: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang
tidak berdasar pada urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak.” [HR Muslim]
Mengenai pertanyaan keutamaan meninggal di hari
Rabu, kami telah meniliti sejumlah kitab-kitab hadis dan mencari kemungkinan
adanya keterangan dari Nabi saw tentang keistimewaan meninggal pada hari
tersebut. Namun kami tidak menemukan keterangan sama sekali yang menjawab
pertanyaan saudara. Dengan demikian, jika berkembang di masyarakat suatu
kepercayaan mengenai keutamaan meninggal di hari Rabu, maka ia merupakan
kepercayaan yang tidak berdasar sama sekali.
Mengenai keutamaan meninggal pada hari Jum’at,
terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ
لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari
Jumat atau malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari adzab kubur.”
[Sunan at-Tirmidzi/vol. III/hadis ke 1074]
Secara lengkap sanad dari hadis ini adalah:
at-Tirmidzi à Muhammad bin Basysyar à Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Amir
al-Aqadi à Hisyam bin Sa’ad à Sa’id bin Abi Hilal à Rabiah bin Saif à Abdullah
bin Amr bin Ash.
Para ulama hadis berbeda pendapat tentang status
hadis ini. Imam at-Tirmidzi (w. 360 H) sendiri yang meriwayatkan hadis ini
dalam kitab Sunan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis gharib (karena
diriwayatkan oleh satu orang saja) dan munqathi’ karena sanadnya tidak
bersambung (laisa bi muttashil). Menurutnya, tokoh yang bernama Rabiah bin Saif
(w. 120 H) dari generasi tabiut tabiin yang meriwayatkan hadis ini tidak pernah
bertemu dengan sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H), sehingga ada
satu perawi dari tingkatan tabiin yang hilang. Status gharib yang diberikan
oleh at-Tirmidzi ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
seorang ulama hadis yang wafat di Mesir dengan label dhaif dalam kitabnya
Fathul-Bari (vol. IV/hal. 467).
Mengenai status munqathi (terputus perawi dari
kalangan tabiin) pada hadis ini, berdasarkan penelitian kami ditemukan bahwa
sesungguhnya Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya yang lain, Nawadir al-Ushul
(sebuah kitab hadis yang mengkompilasi hadis-hadis dhaif), meriwayatkan hadis
ini secara muttashil (bersambung). Nama tokoh dari generasi tabiin yang bertemu
dengan Rabiah bin Saif dan meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash
yang sebelumnya hilang dalam Sunan at-Timidzi adalah Iyadh bin Aqabah al-Fihri
dan Ali bin Ma’badh (at-Tirmidzi, Nawadir al-Ushul, vol. IV, hal. 161). Imam
al-Qurtubhi (w. 671 H) dalam at-Tadzkirah (hal. 167) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H)
dalam ar-Ruh (hal. 161) demikian juga membantah status munqathi untuk hadis
ini.
Namun, jika hadis ini selamat dari tadh’if
(pendaifan) dari aspek ketersambungan mata rantai perawinya (ittishal
as-sanad), hadis ini ternyata masih memiliki problem lain, yaitu dari sisi
kredibilitas perawi. Dari rangkaian para perawi tersebut di atas, Saif bin
Rabi’ah adalah sosok yang bermasalah di kalangan ulama hadis. Imam al-Bukhari
memberikan komentar bahwa padanya ada kemunkaran (lahu manakir) (lihat
at-Tarikh al-Kabir, vol. III, hal. 290). Ibnu Hibban menyebutnya kana yukhtiu
katsiran (ia banyak berbuat salah dalam meriwayatkan hadis) (lihat ats-Tsiqat,
vol. VI, hal. 301). Komentar Ibnu Yunus terhadapnya sama dengan komentar
al-Bukhari, dan an-Nasai melemahkan hadis-hadisnya (Ibnu Hajar al-Asqalani,
Tahdzibu al-Tahdzib, vol. III, hal. 221, adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqdi
ar-Rijal, vol. III, hal. 67).
Hadis yang serupa dengan sedikit perbedaan redaksi
juga diriwayatkan oleh Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad (hadis ke-6582, 7050), Abu
Ya’la dalam Musnad (hadis ke-4113) dan Abd bin Humaid juga dalam Musnad-nya
(hadis ke-323). Namun, karena hadis-hadis tersebut juga berstatus dlaif, maka
ia tidak bisa mengangkat derajat hadis ini naik menjadi hasan. Pada hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abd bin Humaid terdapat sosok terdapat yang
bernama Baqiyah bin Walid yang dikomentari oleh Ibnu Hajar bahwa hadis-hadisnya
munkar (karena ia sering lupa atau banyak melakukan kesalahan atau seorang
fasik) dan ia banyak menyembunyikan cacat hadis (mudallis) (Lisan al-Mizan,
vol. VI, hal. 184, Tabaqah al-Mudallisin, vol. I, hal. 49). Dalam sanad Abu
Ya’la terdapat Yazid ar-Raqasyi yang dikomentari ahli hadis bahwa ia adalah
seorang yang selalu terobsesi dengan perbuatan ibadah serta kalimat-kalimat
yang baik, namun sayang sekali ia tidak memiliki kemampuan mengetahui dan
membedakan mana yang hadis dan mana yang bukan hadis (Ibnu Abi Hatim,
al-Majruhin, vol. 3, hal. 98)
Selain dari sisi sanad-nya, hadis tersebut memiliki
kejanggalan dari aspek matan (isi) nya. Kejanggalan tersebut karena ia
bertentangan dengan kemahaadilan Allah. Masalah keterbebasan dari azab kubur
bergantung dengan amal ibadah seorang hamba selama hidup di dunia, bukan pada
waktu kapan ia meninggal. Dalam al-Qur’an banyak sekali ditekankan perintah
agar memperbanyak amal saleh di dunia, karena akan dipetik hasilnya di akhirat
kelak. Oleh karena itu, jika ada orang yang semasa hidupnya adalah pelaku
maksiat, lalu karena semata-mata ia meninggal pada hari Jum’at dan berhak
menerima pembebasan dari azab kubur, ia berarti telah menerima sesuatu yang
tidak sesuai dengan amalannya di dunia. Sebaliknya, seorang hamba Allah yang
saleh, karena ia tidak meninggal di hari Jum’at ia tidak akan mendapatkan
pengampunan dari azab kubur. Tentu saja Allah SWT terlindung dari ketidakadilan
tersebut, karena Allah SWT telah berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ .
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” [QS.
al-Zalzalah (99): 7-8]
Di tempat lain Allah SWT juga berfirman:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ
تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ [البقرة، 2: 281]
Artinya: :”Dan peliharalah dirimu dari (azab yang
terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang
telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dirugikan” [QS. al-Baqarah
(2): 281]
Dalam kaedah hadis disebutkan bahwa suatu hadis
hanya bisa diterima jika ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
إِذَا رَأَيْتَ الْحَدِيْثَ يُبَايِنُ اْلمَعْقُوْلَ أَوْ
يُخَالِفُ الْمَنْقُوْلَ أَوْ يُنَاقِضُ الْأُصُوْلَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ مَوْضُوْعٌ
Artinya: “Jika engkau melihat satu hadis yang
bertentangan dengan akal sehat, menyelisihi nash (yang lebih sahih) dan
bertentangan (menabrak) pokok-pokok agama, maka ketahuilah ia adalah hadis yang
palsu (maudhu’)” (as-Suyuthi, Tadribu ar-Rawi, vol. I, hal. 277, Albani, Irwau
al-Ghalil, vol. IV, hal. 112).
Kesimpulannya, keutamaan meninggal di hari Rabu
tidak ada dasarnya sama sekali, dengan demikian tidak dapat dipercayai. Adapun
keutamaan meninggal di hari Jum’at dasarnya lemah, sehingga tidak dapat
dijadikan hujjah (argumentasi).
Wallahu A’lam bish-shawab.
#Sumber Fatwa Tarjih Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment