Device and Server

IP

Breaking News

Apakah Boleh sholat dhuha secara berjamaah ?

boleh kah sholat dhuha secara berjamaah

Banyak orang – di kalangan masyakarat muslim – yangbertanya: “Adakah tuntunan shalat dhuha secara berjamaah?” Sebelum kita perbincangkan masalah ini, simaklah sebuah riwayat dari Mujahid salah seorang dari tabi'in yang mengisahkan:

دَخَلْتُأَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا نَحْنُ بِعَبْدِ اللهِ بْنِعُمَرَ فَجَالَسْنَاهُ ، قَالَ : فَإِذَا رِجَالٌ يُصَلُّونَ الضُّحَى ، فَقُلْنَا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا هَذِهِ الصَّلاَةُ ؟ فَقَالَ : "بِدْعَةٌ ".

“Saya dan Urwah bin Zubair masuk ke dalam masjid, lalukami berjumpa dengan Ibnu Umar, dan kami duduk bersamanya. (Mujahid) berkata,bahwa pada saat itu orang-orang sedang shalat Dhuha, lalu kami berkata,"Wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Umar), shalat apakah ini?" Dia menjawab:"(shalat ini) bid'ah”. (Hadits Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal,Juz II, hal. 128, hadits nomor  6126, kata Syaikh Al-Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim).

Al-Qadhi ‘Iyadh, an-Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Ibnu Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu di masjid, dan dengan berjamaah. Bukan karena hukum asal shalat tersebut menyelisihi sunah (perbuatan bid’ah). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abi Syaibah dari Ibn Mas’ud, bahwasanya beliau (Ibn Mas’ud) melihat beberapa orang shalat dhuha,kemudian beliau mengingkarinya, sambil mengatakan:

إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَفِي بُيُوتِكُمْ

“Jika memang harus melaksanakan shalat dhuha, mengapa tidak di rumah kalian.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bârî, Juz III, hal. 53 dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani,  ‘Umdatul Qârî, juz XI, hal. 416).

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang tafsir perkataan Ibnu Umar yang membid’ahkan shalat dhuha sebagaiman ariwayat di atas. Beliau menjawab: “Hal ini (perkataan Ibnu Umar) –- wa Allâhu A’lam -– karena mereka mengerjakan shalat dhuhanya secara berjamaah, kemudian beliau (Ibnu Umar) menilai hal itu sebagai perbuatan bid’ah.” (Syarh Shahîh al-Bukhâri, Kitâb al-Hajj).

Selanjutnya, ada beberapa riwayat yang menunjukkan  bahwa Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dhuha berjamaah, di antaranya:

Pertama, hadits dari Anas bin Malikradhiyallahu ’anhu, beliau bercerita: “Ada seorang laki-laki dari Anshar berkata (kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam): “Saya tidak bisa shalat bersama Anda.” Dalam lanjutan hadits dinyatakan:

فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا،فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا، وَنَضَحَ طَرَفَ الْحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ آلِ الْجَارُودِ لِأَنَسٍ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى قَالَ مَا رَأَيْتُهُ صَلَّاهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ

“Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut.” Ada seseorang dari keluarga Al-Jarud bertanya kepada Anas: “Apakah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan shalat dhuha?” jawab Anas: “Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melaksanakan dhuha kecuali hari itu.” (Hadits Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî,juz I, hal. 309, hadits nomor 670).

Hadits inidibawakan oleh al-Bukhari dalam bab: “Apakah Imam shalat bersama orang yangtidak bisa berjamaah.” Karena zhahir (teks) hadits menunjukkanbahwa beliau mengerjakannya berjamaah dengan orang Anshar tersebut.

Al-Hafizh Al-‘Aini menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadits ini. Di antara yang beliausebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunah secara berjamaah. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Umdatul Qârî, juz V, hal. 196).

Kedua, riwayat dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah, beliau mengatakan:

دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ ، فَقُمْتُ وَرَاءَهُ ،فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ ، فَلَمَّا جَاءَ يَرْفَا تَأَخَّرْتُ فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ.

“Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyataaku melihat beliau sedang shalat sunah, lalu aku berdiri di belakangnya danbeliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radhiyallahu ’anhu.” (Hadits Riwayat. Malik dalam Al-Muwatha’, juz I, hal 154, hadits nomor 360 dan dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam kitab Ash-Shahîhah, catatan hadits 2590).

Hadits ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dhuha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadits di atas, dipahami sebagai waktu dhuha. Berdasarkan hadits ini, Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah dengan tiga syarat:  dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (Al-Muntaqâ Syarh al-Muwatha’ 1:274).

KeteranganIbnu Habib diatas bisa dikatakan penjelasan cukup bagus dalam menyikapi hukum shalat dhuha secara berjamaah. Selama itu hanya dilakukan kadang-kadang dan tidak dijadikan kebiasaan maka shalat dhuha berjamaah dibolehkan. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam (Ibn Taimiyah dan Syaikh Al-Utsaimin. (Al-Fatâwâal-Kubrâ Ibn Taimiyah 2/238 dan Majmû’ Fatâwâ Ibn Al-Utsaimin, hal. 4)

Dengan demikian, shalat dhuha berjamaah 'memang' tidak dilarang oleh Rasulullah s.a.w., karena – memang– Rasulullah dan sahabatnya pernah mengamalkannya, secara insidental. Tetapi untuk (sekadar berhati-hati) menghindari perbuatan bid'ah -- menurut pandangan yang moderat diperkenankan, dan disarankan untuk melakukannya dengan beberapa persyaratan berikut:

1. Dilakukan secara insidental (tidak dijadikan sebagai kebiasaan)

2. Tidak terikat hari, waktu, atau momentum tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap  selapan sekali (misalnya: setiap Jum’at Pon atau waktu-waktu tententu yang seolah-olah menjadi momentum yang paling tepat dan disyariatkan). Ketentuan hari atau waktu-waktu tertentu, karena menentukan sesuatu yang tak berketentuan dalam al-Quran dan Hadits (dalam hal ibadah), hal semacam ini – menurut pandangan beberapa ulama yang cenderung berhati-hati -- “tidak diperbolehkan”

3. Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman ‘resmi’ kepada masyarakat, yang  mengesankan seolah-olah sebagai bagian dari ketentuan syari’ah (tertentu), yang berkenaan dengan masalah ibadah (yang terdapat di dalam al-Quran dan Hadits)

4. Tidak menjadi amalan yang ‘dibudayakan’, sehingga terkesan menjadi bagian dari budaya yang seolah-olah benar-benar disyariatkan.

5. Jumlah orang yang ikut serta berjamaah tidak ditentukan, apalagi ditentukan persyaratan-persyaratannya, sehingga jangan sampai pelaksanaannya diatur sedemikian rupa sebagaimana shalat fardhu, karena dikhawatirkan akan dianggap sebagai bagian dari ketentuan syari’at yang diwajibkan.

6. Tidak dilaksanakan bersama-sama (serentak oleh umat Islam di semua wilayah, dengan kesepakatan tertentu) di masjid jami’ (masjid yang biasa digunakan untuk berjamaah secara rutin) sebagaimana shalat jamaah – seperti shalat tarawih pada bulan Ramadhan -- yang (memang) ada tuntunannya dari Rasulullah s.a.w. dan dibenarkan oleh oleh Rasulullah s.a.w., serta (juga) diikuti oleh para sahabat, dan kemudian disepakati keabsahannya secara ‘ijma’ oleh para ulama.

No comments:

Post a Comment

Designed By